Belajar Bahasa Sama Dengan Cerdas Memahami Manusia - ahmad hanif

Belajar Bahasa Sama Dengan Cerdas Memahami Manusia

Belajar Bahasa Sama Dengan Cerdas Memahami Manusia

Apakah orang yang cerdas dalam berbahasa juga cerdas memahami manusia?

Photo by Gus Moretta on Unsplash

Memandang bahwa orang yang cerdas itu sering membaca buku, menulis, punya gelar sarjana atau bisa lulus cepat dengan nilai cumcloude, sebenarnya kurang tepat. Jika melihat antara Ludwig van Beethoven dengan Rocky Gerung diadu membuat instrumen musik, mana yang lebih cerdas?

Pada kenyataannya, soal kepintaran seseorang, kita masih mematok dengan realita yang ada. Seperti halnya melihat kekayaan orang lewat gadgetnya. Atau menyebut seseorang itu selebritis kalau pengikutnya banyak. Apalagi bahasa, orang dianggap bisa berbahasa ketika ia dapat berkomunikasi verbal (berbicara).

Lalu, ada hipotesis (praduga sementara) tentang hubungan antara bahasa dan kenyataan. Kita bisa melihat kepribadian orang hanya dengan lewat tulisannya. Apa yang mereka tulis adalah cerminan mereka. Bahkan para psikiater atau ahli forensik, ada yang menelaah kasus lewat tulisan.

Bahwa kita dapat memahami seseorang lewat bahasanya adalah bisa dilakukan, tetapi tidak bisa dijadikan kebenaran. Dalam psikologi, mereka menggunakan Grafologi. Sedangkan forensik, menggunakan Grafonomi dan handwriting forensic. Namun, mengungkap maksud seseorang tidak sebatas itu, tidak cukup dengan goresan, teks nyata atau pada realita saja.

Dalam ilmu bahasa, ada yang namanya Semiotika. Gampangnya, ilmu yang mempelajari tanda. Ketika kita mengucap bendera Indonesia berwarna merah putih, ucapan merah diartikan sebagai penanda, sedangkan warna merahnya diartikan berani, itu petanda.

Makna merah tidak sebatas berani. Jika kita di jalan bertemu lampu lalu lintas, lalu menyala warna merah, apakah diartikan berani? Tidak. Merah yang ini, diartikan sebagai berhenti. Juga dengan warna merah berbentuk palang di PMI, bukan dimaknai sebagai berani atau berhenti, dibalik itu ada peristiwa kemanusiaan yang membuat warnanya merah.

Balik ke inti, apakah orang yang cerdas dalam berbahasa juga cerdas memahami manusia? Semakin ia mendalam bahasa, punya banyak bahasa, punya kemampuan berbahasa, maka bahasa yang seyogiyanya berfungsi untuk alat komunikasi, telah masuk ke lingkup nature of Meaning (hakikat makna). Bertambahlah kecerdasannya memaknai sebuah tanda pada manusia lainnya.

Tanda dari manusia juga banyak, tidak hanya bahasa atau ekspresi saja. Misalnya, ketika kita lari terus kaki kita tergelincir, jatuh, kaki jadi sakit. Sakit itulah tanda bahwa manusia sedang tidak baik-baik saja. Contoh lain, menyindir seseorang lewat batuk palsu, "ehem," lalu mengetuk-ngetuk jam tangan. Bertanda bahwa waktunya sudah habis.

Kenapa kok ada orang yang bisa membaca pikiran, maksud, orang lain lewat tanda? Karena manusia tidak berhenti pada realitas, fakta, sesuatu yang nyata, tapi bisa sampai dibaliknya, selalu masuk ke makna. Informasi tidak selalu tampak, bisa jadi ada informasi dibalik tampak.

Contohnya, Anggaran Rp 48,7 M untuk Gorden Anggota DPR. Apa akal kita berhenti pada, “Oh, 48.7 Miliyar itu uang yang banyak.” Tidak. Tapi ada ungkapan lain dari kita, “Uang sebanyak itu masa cuma buat Gorden?!”

Soal, bisakah kita membaca pikiran manusia hanya lewat verbal (bicara/suara)?

Seperti halnya, memahami curhatan seseorang lewat telepon. Tentu bisa, jika kita cerdas dalam berbahasa. Mengetahui bahwa ia berbohong, menyelami pikirannya, bahkan menggali informasi hanya dengan lewat suara. Bagaimanapun caranya, saya tidak akan membeberkan di sini, karena masalah pengembangan diri.

Menafsirkan komunikasi verbal lebih sulit daripada nonverbal. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat komunikasi nonverbal. Karena dibalik ucapannya lewat suara, bisa beribu makna. Makanya, hati-hati kalau ada cowok yang ngomong, “Nanti aku nikahin.”

Referensi:

Ferdinand de Saussure, Dale G Leathers, Harfi Muthia Rahmi, Analisis Dilan 1990 dan Martin Heidegger.


Mohon untuk berpikir dua kali sebelum komentar