Merdeka Belajar - ahmad hanif

Merdeka Belajar

Merdeka Belajar

Merdeka Belajar? Ya, Kita Ingin Merdeka. Merdeka Untuk Tidak Belajar!

Apa yang dapat merubah kualitas pendidikan agar lebih baik? Feodalisme, harus dihilangkan. 

 


Timur dan Barat

Sebelum kita beranjak lebih matang membahas Merdeka Belajar, alangkah tertibnya kita memahami pendidikan barat dan timur. Dunia barat dan timur, ketika dipertemukan antara peradaban ataupun kebudayaan, dua lingkup ini akan terpisah. Timur dianggap penuh dengan estetika, rasional, atau lebih mengutamakan perasaan dan emosi. Sedangkan barat lekat dengan irasional, modern, logis, sains, dll. Pendidikan timur merujuk pada pembentukan moralitas, sedangkan barat berpegang kepada sains. Timur terkenal dengan filosofi–simbol, barat lebih ke kemajuan bidang ilmu pengetahuan. 

 

Gampangnya, pendidikan timur lebih mementingkan pada aspek afektif. Tradisi-tradisi yang kita alami dalam pendidikan mengarah ke kanan, atau timur. Ini bukan sebab, kenapa setir mobil di wilayah timur berada di kanan, sementara barat berada di kiri. Dalam pembelajaran kita, siswa akan tunduk terhadap kebijakan-kebijakan guru. Karena seorang guru memiliki gaya ketimuran, yaitu ceramah. Artinya guru lebih aktif, sementara siswa berfokus mematuhi dan menuruti, pasif. Kesan ini menandakan bahwa timur lebih mengedepankan “Etika” daripada pemerolehan ilmu.

 

Beda hal dengan barat, para siswa diberikan kebebasan. Jangan kaget, jika pemikiran siswa di barat lebih unggul daripada kita. Contoh kecil, dalam kelas tidak ada siswa yang tidak aktif. Mereka cenderung angkat tangan, berani memperdebatkan perihal ketidaksetujuan argumen guru. Anggapan bahwa orang-orang barat lebih berilmu itu sangat betul. Karena sejak duduk di bangku sekolah, mereka telah diberikan stimulus berpikir kritis. Norma-norma tersebut menjadikan sekolah-sekolah barat dilabeli dengan kualitas pendidikan yang tinggi, dibuktikan dengan nilai asesmen PISA rata-rata diatas minimum.

 

Sebelum Merdeka Belajar

Adanya kolonialisme dan feodalisme sejak datangnya Nederland, membuat pendidikan masyarakat terbelenggu, khususnya kaum Muslim pada masa penjajahan. KH. A. Dahlan terpanggil hatinya setelah beberapa tahun belajar di Makkah, beliau mendirikan sekolah-sekolah bergaya Belanda berkedok pesantren. Saat itu, yang dilihatnya adalah fatalistik atas masyarakat Indonesia, pola pikir yang pasrah saat terjajah. Termasuk juga KHD dalam partisipasinya untuk mendemokratisasi dengan model nonkooperasi.  Walaupun kecurigaan Pemerintah kolonial akan hal (nasionalisme) itu, ditambal dengan ordonansi. Pada akhirnya, KHD dengan Taman Siswa berhasil mencabut ordonansi yang menentang, “Sekolah Liar.”

 

 


Merdeka Belajar

Di Era Nadiem, merdeka belajar diawali karena adanya kekeliruan dalam cara asesmen (tes kelulusan). Pada suatu kesempatan, sam Nadiem meninjau peringkat siswa Indonesia dalam tes PISA sangat rendah, 2 dari bawah. Tes PISA sendiri mengandalkan pada berpikir analisis, level berpikir tertinggi. Maka dari itu, Ujian Nasional digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Fokusnya, literasi (dapat menganalisis dan memaknai bahasa), numerasi (berpikir logis menggunakan angka), dan karakter (mengacu pada Pancasila). 

 

Sampai sekarang ada 19 program yang direalisasikan pemerintah, seperti guru penggerak, sekolah penggerak, kampus merdeka, revitalisasi bahasa daerah, dll. Tujuan dari merdeka belajar adalah meningkat kualitas sumber daya manusia yang siap menghadapi era Society 5.0. Peningkatan kualitas tersebut sesuai dengan kompetensi tiap-tiap orang. Sedangkan tiap kompetensi harus diarahkan agar terbentuknya link and match, kesesuaian dalam industri yang ditekuni. Misalnya, mahasiswa pendidikan harus jadi guru, mengajar dikelas. Bukan bagian tata usaha atau bagian administrasi agar profesionalisasi sesuai bidang dan keahliannya.  

 

Melihat dari situ, Merdeka Belajar mengandung aliran belajar atau teori belajar humanistik dan behavioristik. Pendekatan Humanistik ini memiliki gagasan bahwa belajar adalah aktualisasi diri untuk membangkitkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang ideal. Sedangkan pendekatan behavioristik, belajar bukan untuk menjadikan manusia ideal tetapi mengubah untuk lebih baik sesuai ideal yang telah ditetapkan. Dalam humanistik, ideal sudah ada dalam diri manusia (tinggal dihidupkan). Sedangkan behavioristik, manusia belum ada idealnya maka dibuat idealis (manusia ciptaan). Contohnya dalam kampus, “Mahasiswa diberi (input) mata kuliah Studi Fiqih agar (output) bisa menyelesaikan masalah kontemporer yang berkaitan syariat.”

 

Merdeka belajar diawali oleh Generasi Z, sementara kita masuk generasi terakhir Milenial yang artinya kita menjadi contoh atau public figure. Implementasi Merdeka Belajar tidak bisa langsung berdampak, berpengaruh cepat terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Mungkin 5-4  tahun dapat beradaptasi dengan program ini, sedangkan hasilnya puluhan tahun bisa dinikmati. Kenapa? Ini karena kita yang akan atau sudah menjadi guru masih rendah akan literasi, teknologi bahkan salah orientasi. Banyak logical fallacy (salah pilih otoritas) dalam bernalar, sehingga menciptakan kelompok-kelompok sosial, yang benar yang sesuai dengan kelompoknya sendiri. Setiap kelompok memang memiliki daya kekuatan atau keunggulan, tapi bagaimana kita (generasi milenial) dapat mensinkronisasikan kelompok-kelompok tersebut.

 

Kemarin adalah hari peringatan R.A Kartini. Habis gelap terbitlah terang, kini sudah terang benderang tapi orang-orang masih saja bersembunyi dalam kegelapan. Ketakutan kita bukan lagi soal penjajah yang diskriminasi, tapi takut akan perbedaan. Seharusnya paranoia atau insecurity yang menjadi bermanfaat bagi orang-orang, sehingga menjadi alat konstruktif. Pertanda bahwa adanya kesenjangan untuk memperbaiki masa lalu, mereka lebih akrab dengan yang sekarang ataupun yang akan datang. Kita mengalami amnesia history. Sejarah bukan lagi “Historia Magistra Vitae” namun “Commemoration” hanya peringatan.


Walaupun ada merdeka belajar, kalau Feodalisme sebenarnya adalah dalam diri kita, yaitu nafsu kemalasan (tidak mau belajar), kita tidak bisa merdeka. Pun dengan Kolonialisme sebenarnya adalah penguasaan idealis orang lain dalam ideal yang kita peroleh sendiri. Jika tingkat idealis seseorang menjadi patokan kesuksesan kita secara umum, maka tidak akan bisa tercapai karena tiap orang punya potensi sendiri, bahkan kesuksesan dengan arti yang berbeda-beda. 

 

Terima kasih, 

4 komentar