School Shooting, Masalah Pendidikan Amerika - ahmad hanif

School Shooting, Masalah Pendidikan Amerika

School Shooting, Masalah Pendidikan Amerika

 


Apa Itu School Shooting?


School Shooting adalah sebuah serangan terhadap lembaga pendidikan yang melibatkan penggunaan senjata api. Fenomena yang marak terjadi di lembaga pendidikan Amerika ini, seperti epidemi bagi anak-anak. Penyakit yang menyebar secara cepat kepada mereka.


Permasalahannya adalah bagaimana bisa, sekolah yang seharusnya menjadi pelindung–pembimbing bagi anak-anak, malah menjadi tempat paling berbahaya.


Penembakan sekolah tercatat pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1764, yang dikenal dengan, Enoch Brown school massacre. Dan sampai saat ini, penembakan sekolah masih terus terjadi tiap tahunnya. Tahun 2022 ini , penembakan sekolah terjadi pada 24 Mei oleh Salvador Ramos (pemuda 17 tahun) yang menewaskan 21 orang, diantaranya; 19 anak-anak dan 2 guru di Robb Elementary School Uvalde, Texas.


Penyebab School Shooting


Dua bulan sebelum insiden, Ramos memberitahu dan merencanakan penembakan ini di grup Instagram yang berisi 4 orang. Entah fungsi grup itu apa. Namun, setelah perencanaan tersebut, Ia membeli senapan semi-otomatis AR-15 di toko olahraga lokal sebanyak dua kali. Alih-alih diam, Ramos malah sempat mengunggah foto dirinya dengan senapan tersebut di media sosial.


Images from the Instagram account of Texas school shooter Salvador Ramos.

Lalu, pada 24 Mei 2022, sebelum membantai sekolah dasar Rabb, Ramos tega menembak wajah neneknya sendiri. Setelah Ramos pergi untuk melakukan aksi, neneknya meminta tolong tetangganya dan menelpon polisi. Belum diketahui pasti sebab Ramos melakukan itu, tapi ada dugaan kalau Ramos memiliki masalah keluarga, sebelum bertempat tinggal di rumah neneknya. Dan pada akhirnya, Ramos tewas akibat baku tembak dengan polisi.


Legalitas Senjata Api di Amerika


Sejak perang dunai pertama pecah, Amerika Serikat, belum melarang senjata api secara ketat. Alasannya, karena pada saat itu, warga Amerika Serikat tidak mempercayai tentara. Tentara adalah alat kekuasaan serta memiliki kemampuan menindas. Oleh sebab itu, masyarakat percaya bahwa cara terbaik untuk melindungi diri dari tentara atau ancaman adalah dengan memiliki senjata api.


Tidak heran, jika legalitas senjata api di sana kurang ketat menjadu sebab kasus penembakan sekolah. Yang mengejutkan lagi, kebanyakan para pelaku justru anak-anak dibawah umur dengan berbagai faktor. Entah karena masalah perundungan, lingkungan, keluarga, penyakit mental atau pengaruh dari media. Lalu, bagaimana jika school shooting terjadi di Indonesia?


Hal-ihwal Yang Dapat Mempengaruhi Anak-anak?


Kemungkinan besar, Indonesia masih aman-aman saja, berkat Pak Soeharto yang melarang penggunaan sejata api. Tetapi harus diwaspadi, ada gejala nyata yang dapat mempengaruhi anak. Salah satunya, penyebaran budaya Barat ke Indonesia sangat cepat tanpa alang-alang.


Ini karena akses media yang semakin mudah, dan yang paling penting adalah, Indonesia yang berusaha keras mengejar modernitas. Artinya, untuk menjadi negara maju–mapan (modern), Indonesia mengadobsi dan beradaptasi dari negara-negara asing. Dari mana masyarakat Indonesia mengadobsi dan beradaptasi?


Menyebarnya Virus Kebodohan Lewat Internet


Internet–media sosial, salah satu tempat menyebarnya informasi tanpa ada penyaring dan tempat yang paling sering dikunjungi oleh generasi kita, khususnya anak-anak. Bahkan media sosial menjadi referensi budaya kehidupan nyata kita.


Secara tidak sadar, kita telah menerima informasi-informasi yang berbahaya. Berita negatif mendominasi, demokratisasi opini yang logic fallacy dan mayoritas dijadikan sebagai kebenaran. Jika anak-anak mengadopsi dan beradaptasi dari dunia maya, bisa jadi akan terperangaruhi lebih cepat daripada tusukan pedang Ibnu Muljam.


Sejalan dengan era modern, bahwa masyarakat lebih mementingkan cerdas intelektual daripada emosional. Orang-orang modern lebih berwawasan–berilmu, namun kurang baik dalam mengelolah emosi. 


Jika perasaan atau emosi mereka tidak teratasi dengan baik, maka akan menimbulkan stres, depresi sampai tidak berakal lagi. Sepertinya, orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi belum tentu memiliki empati tinggi juga.




Tidak hanya itu, tercatat bahwa penyebab utama terjadinya school shooting adalah perundungan. Perundungan anak di Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus (KPAI). Jika legalitas senjata api Indonesia seperti Amerika serikat, kemungkinan besar school shooting yang akan kita hadapi akan lebih mengerikan dari Amerika. 


Rendahnya Guru Peduli Pendidikan


Selain itu, tingkat keamanan di lembaga pendidikan Indonesia kurang terjamin. Bukan keamanan dari para petugas keamanan (satpam), melainkan perhatian guru di sekolah kurang menjangkau sampai pada tiap-tiap siswa. Sebagian besar, guru tidak tahu, siswa mana yang memiliki masalah, mengalami tindakan perundungan atau sekedar tahu hanya latarbelakang siswa.


Alih-alih praxis Among, guru hanya sebatas masuk kelas isi presensi–pulang dapat gaji. Tidak profesional. Menurut kajian pustaka, "Permasalahan kompetensi dan kualitas guru (2021)," ada 3 penyebab rendahnya profesionalisme guru:


Pertama, tidak menekuni profesi, karena gaji rendah. Kedua, kurang motivasi diri karena tidak memiliki mimpi. Ketiga, ciptaan kampus. Nah, tanyakan saja pada kampus-dosen kalian, Aku ini mau dijadikan apa? Prospek ke depan apa? Apa buktinya? Terus, kalau terjamin kualitasnya, kenapa–mau ngapain?


Bahaya juga, jika guru yang diciptakan kampus tidak profesional dan berkualitas.   Mengapa? Karena guru yang baik bisa saja menciptakan murid-murid yang bandit, apalagi guru yang sudah bandit sejak awal. Kata, Pramoedya. Jangankan profesional, coba tanya pada guru muda disana, tujuannya jadi guru itu apa? Mentok-mentok balik ke ekonomi.


Bimbingan Konseling Tidak Berfungsi


Jika dipikir-pikir, buat apa bimbingan konseling? Bimbingan konseling di sekolahan tidak bisa memecahkan masalah perundungan. Buktinya, berapa tahun BK ada di lembaga pendidikan? Kenapa perundungan malah tambah banyak?


Ini karena, bimbingan konseling ada hanya untuk formalitas. Ia bergerak ketika telah terjadi perundungan, bukan sebelum si anak mengalami perundungan. Padahal guru juga harus belajar bimbingan konseling, psikologi, dll. Mengadalkan BK juga tidak cukup, makanya guru juga harus belajar bimbingan konseling-psikologi lebih mendalam. 


Walaupun, ada program untuk perundungan di Indonesia. Program Roots, program pencegahan perundungan berbasis sekolah dengan pelaku siswa dan guru yang diselenggarakan oleh kemendikbudristek.


Tetapi, perlu diingat, bahwa akar penyebabnya bukan hanya dari para pelaku perundung, tetapi siapa yang menciptakan para perundung. Bisa jadi lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, atau bahkan lingkungan sekolah itu sendiri.

 

Mohon untuk berpikir dua kali sebelum komentar