Kehawatiran Nadiem: Learning Loss - ahmad hanif

Kehawatiran Nadiem: Learning Loss

Kehawatiran Nadiem: Learning Loss



Learning loss atau kehilangan capaian belajar semakin muncul terhadap pendidikan Indonesia setelah darurat pandemi covid-19. Kehilangan ini didominasi oleh golongan ekonomi kebawah, dikarenakan kurangnya akses internet dan tidak mampu membeli kelas daring. Dan sebab utamanya adalah PJJ (pembelajaran jarak jauh) yang tidak efektif sama sekali. Learning loss memang telah terjadi sebelum pandemi, namun memang tidak nampak jelas. Akibat learning loss adalah tutupnya instansi pendidikan, motivasi belajar siswa menurun, putus sekolah, dll.

Disisi lain penyebab dari learning loss di Era–Nadiem adalah kurangnya pembelajaran yang efektif. Maka dari itu, Pak Nadiem menegaskan dalam merdeka belajar bahwa semua dimulai dari pendidik. Tahun 2021 Pemerintah memilih sekolah-sekolah untuk dijadikan contoh bagi sekolah lain yang disebut Sekolah Penggerak. Target dari Pak Nadiem, pada 2024 semua sekolah sudah menerapkan merdeka belajar– menjadi sekolah penggerak. 

Pada akhirnya akan kembali pada pendidik, guru, pamong yang dapat memerdekakan siswa. Kemerdekaan pendidik harus dimaksimalkan karena kunci utamanya kesuksesan bukan hanya pada pemerintah yang mengeluarkan ide atau kebijakan, bukan juga sekolah yang menerima kebijakan, tapi pendidik yang menjalankan kebijakan. Sayangnya guru sekarang kurang paham soal teknologi, atau pembaharuan penelitian. Hampir jarang pendidik di tingkat SMA ke bawah, yang benar-benar fokus meneliti. Mayoritas para pendidik akan meniru pembelajaran-pembelajaran yang gampang untuk diterapkan dan tidak merepotkan. 


Bantu beliin kopi untuk saya, lewat sini  🧧  atau https://saweria.co/amdhown 


Banyaknya sistem pendidikan Indonesia membingungkan para instansi termasuk pendidik dan siswa. Karena sampai saat ini Indonesia menerapkan 3 sistem: Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, Kurikulum Prototype–Merdeka Belajar. Sedangkan beberapa perguruan tinggi telah menggunakan kampus merdeka “Tanpa skripsi,” dalam artian mahasiswa boleh tidak memilih skripsi atau diganti penelitian lainnya. Ada juga AGD (Akselerasi Gerakan Digital), generasi yang dipersiapkan oleh Kemendikbutristek untuk generasi talenta digital melalui beberapa program.

Rizal, Founder GSM menyarangkan untuk menggunakan model pembelajaran PJBL (Project Based Learning) atau pembelajaran berbasis proyek (Kurikulum Prototype). Pendekatannya melalui masalah yang konkrit (fenomena sekitar), tugas berupa pencarian dan pemecahan masalah, sedangkan hasilnya juga proyek. Siswa akan berposes secara langsung, praktik, menemukan masalah sampai memecahkan masalah dengan bimbingan dan arahan pendidik. Penilaian juga dapat diterapkan dengan holistik, (mengajar untuk menguji).

Dalam hal ini, saya menyarankan untuk menggunakan media sosial untuk media pembelajaran. Para Digital Native seperti kami, sangat ketergantungan dengan media sosial. Observasi saya tahun lalu bahwa, 90% umur 25–12 tahun mendapatkan informasi melalui media sosial. Berinterkasi melalui media sosial, bahkan mencari pengetahuan lewat media sosial. Namun penggunaan media sosial harus hati-hati, membutuhkan pemahaman tentang “The Social Dilemma” atau sisi gelap media sosial.

Sayangnya banyak dari guru yang tidak tahu kedasyatan media sosial. Sangat jarang sekali pendidik yang menggunakan media sosial sebagai media pembelajaran. Bukan hanya gaptek (nggak paham teknologi) tapi penggunaan media sosial sangat berbahaya. Tapi platform yang banyak kritikan yaitu, Tiktok yang mengeluarkan panduan bermedia sosial untuk pengajaran. Tiktok memperingati pengajar tentang hal-hal yang perlu dicermati yaitu pendidik yang pengan kendali: kesejahteraan digital, perilaku online positif, privasi dan keamanan.

Kesimpulannya, ini bab 1 proposal saya :)

Saran, untuk pendidik harus memahami dan belajar tentang masa depan teknologi yaitu web 3.0 karena melihat guru sekarang yang kebanyakan kurang pengetahuan tentang teknologi, bahkan sekelas dosen.

Mohon untuk berpikir dua kali sebelum komentar